em,, untuk buat makalah Hukum Adat ni susah jugak
maklumlah kt Malaysia x pernah belajar tentang Hukum2 Adat ni^^,
pastu bahan Hukum Adat (bukunya) susah kali, gak banyak buku tentang Hukum Adat di puswil (pustaka wilayah).
mulanya judul (tajuk) makalah kami "Pembentukan Dalam Hukum Adat Di Lihat Dari Susunannya"
tp oleh krna ada kesilapan teknikal, judul kami di ubah lagi,
judul baru kami "Masyarakat Hukum Adat Di Lihat Dari Susunannya"
akhirnya, setelah bertungkus-lumus siap lah makalah kami =)
dan alhamdulillah hari ni kelompok kami presentasi makalah
takut juga sebenarnya nk presentasi makalah Hukum Adat ni,
maklumlah ana x berapa tahu sangat tentang adat istiadat ni
lebih2 lagi adat orang.
lebih2 lagi adat orang.
rupanya tanpa di sangka presentasi hari ni seru banget!!=)
soal yg di tanya oleh teman2 pun alhamdulillah banyak yg
boleh jawab^^,. susana dalam ruang kuliah hari ni pun
gak sepi, 'ala kulli hal thank banget pd teman2 yg berpartisipasi (ikut serta) hari ni.
ha,, ni makalah Hukum Adat yg kami presentasi hari ni:
Masyarakat hukum adat di Indonesia menurut dasar susunannya dibagi kepada:
1. Genealogis
2. Territorial
3. Genealogis-territorial
1. Genealogis
Yaitu merupakan masyarakat hukum adat yang disusun berasaskan suatu keturunan,[1] dan di dalam masyarakat genealogis ini terdiri dari beberapa macam susunan kekeluargaan yaitu:
a. Susunan kekeluargaan patrilineal
Patrilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti “ayah”, dan linea (bahasa Latin) yang berarti “garis”. Jadi, “patrilineal” berarti mengikuti “garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah”.[2]
Adapun Sistem ini menggunakan bentuk perkawinan, yaitu kawin jujur. Pemberian jujur oleh pihak laki-laki pada pihak perempuan dimaksudkan sebagai lambang diputuskannya hubungna kekeluargaan si istri dengan orang tuanya, nenek moyangnya, saudara sekandung, serta kerabat persekutuannya. Si istri masuk dalam lingkungan keluarga suaminya. Misalnya: Tapanuli.
b. Susunan kekeluargaan Matrilineal
Sistem ini menggunakan bentuk perkawinan semendo, yaitu suami tetap masuk pada keluarganya sendiri, tetapi dapat bergaul dengan keluarga istrinya sebgai urang semendo. Namun Anak-anak keturunannya masuk pada keluarga istri, dan ayah pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasan terhadap anak-anaknya.
c. Susunan kekeluargaan parental
Pada sistem ini, kedua belah pihak (suami dan istri) dapat masuk menjadi anggota keluarga keduanya, sehingga dapat dikatakan masing-masing mempunyai dua keluarga, yaitu keluarga suami dan keluarga istri.[3]
2. Territorial
Yaitu masyarakat hukum adat yang disusun berasaskan lingkungan daerah masyarakat ini para anggotanya merasa bersatu, dan oleh karena masalah bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sehingga terasa ada ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah tinggalnya.
Adapun masyarakat hukum adat yang bersifat territorial ini ada tiga macam, yaitu:
1. Masyarakat hukum adat desa
2. Masyarakat hukum adat wilayah (persekutuan desa)
3. Masyarakat hukum adat serikat desa (perserikatan desa)
a. Masyarakat hukum adat desa
Masyarakat hukum adat desa adalah segolongan atau sekumpulan orang yang hidup bersama berasaskan pandangan hidup, cara hidup, dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat kediaman bersama yang merupakan satu kesatuan, satu tata susunan yang tertentu, baik luar maupun ke dalam.
Masyarakat hukum adat desa ini melingkupi pula kesatuan-kesatuan kecil yang terletak di luar wilayah desanya, yang lazim disebut teratak atau dukuh, tetapi tunduk pada penguasa kekuasaan desa.
b. Masyarakat hukum adat wilayah (persekutuan desa)
Masyarakat hukum adat wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang teritorialnya melingkupi beberapa masyarakat hukum adat desa dan masing-masing tetap merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri. Biarpun masing-masing masyarakat hukum desa yang tergabung dalam masayarakat hukum adat wilayah itu mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri.
c. Masyarakat hukum adat serikat desa (perserikatan desa).
Masyarakat hukum adat serikat desa adalah suatu kesatuan sosial yang territorial, yang melulu dibentuk atas dasar kerjasama diberbagai-bagai lapangan demi kepentingan bersama masyarakat hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu.[4]
3. Genealogis-Territorial
Yaitu masyarakat hukum adat yang disusun berasaskan pada suatu keturunan, sekaligus juga berdiam pada daerah yang bersangkutan.[5]
Adapun masyarakat hukum adat genealogis-territorial ini dapat dibagi dalam lima jenis, yaitu:
1. Suatu daerah atau kampung yang dipakai sebagai tempat kediaman oleh hanya satu bagian golongan (clandeel). Tidak ada golongan lain yang tinggal di dalam daerah itu. Daerah atau kampung-kampung yang berdekatan juga dipakai sebagai tempat tinggal oleh hanya satu bagian clan. Menurut Ter Haar bahwa susunan rakyat semacam itu barangkali terdapat di daerah pedalaman di pulau-pulau Enggano, Buru, Seram dan Flores.
2. Di Tapanuli terdapat tata susunan rakyat sebagai berikut: bagian-bagian clan (marga) masing-masing mempunyai daerah sendiri, akan tetapi di dalam daerah tertentu dari suatu marga, di dalam huta-huta yang didirikan oleh marga itu, ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi anggota badan persekutuan huta di daerah itu.
Marga yang semula jadi mendiami daerah itu, disebut marga asal, marga raja atau merga tanah, yaitu marga yang menguasai tanah-tanah di dalam daerah itu sedang marga-marga yang kemudian masuk daerah itu disebut marga rakyat. Kedudukan marga rakyat adalah kurang daripada kedudukan marga raja. Antara marga raja dan marga rakyat ada hubungan perkawinan yang erat.
3. Suatu clan yang mula-mula mendiami suatu daerah yang tertentu dan berkuasa di daerah tersebut seperti di Sumba Tengah dan Sumba Timur, akan tetapi kekuasaan itu kemudian berpindah kepada clan lain, yang masuk ke daerah tersebut dan merebut kekuasaan pemerintah dari clan yang asli itu. Kedua clan itu kemudian berdamai dan bersama-sama merupakan kesatuan badan persekutuan daerah. Kekuasaan pemerintah dipegang oleh clan yang datang kemudian, sedang clan yang asli tetap menguasai tanah-tanah daerah tersebut, sebagai wali tanah.
4. Golongan suku yang bertempat tinggal di dalam daerah Nagari di Minangkabau berkedudukan sama (setingkat) dan bersama-sama merupakan suatu badan persekutuan territorial (Nagari). Di situ tidak ada golongan yang menupang ataupun golongan yang menguasai tanah. Adapun daerah Nagari itu terbagi dalam daerah-daerah golongan (daerah suku) di mana tiap-tiap golongan mempunyai daerah sendiri-sendiri.
5. Di Nagari-nagari di Minangkabau di daerah Rejang (bengkulen), di mana dalam satu nagari atau dusun berdiam beberapa bagian clan, yang satu sama lain tidak bertalian famili. Seluruh daerah-daerah nagari atau dusun menjadi daerah bersama (yang tidak dibagi-bagi).[1]
[1] Soerjono Soekanto & Soleman B Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta: 2010, hlm, 95.
[2] http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/03/21/sistem-patrilineal-dan-implementasinya-dalam-suku-batak-toba-di-sumatera-utara/
[3] Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta: 2008, hlm, 137.
[4] http://www.qseach.com/web-search/http://tedy90.blogspot.com
[5], Pengantar Hukum Indonesia, hlm, 136.
[6] Soerjono Soekanto & Soleman B Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta: 2010, hlm, 95.
0 komentar:
Posting Komentar