1. Surat An-Nisa’ ayat 43
artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekadar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedang kan kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dangan debu yang baik (suci) ; usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh,Allah maha pema’af, maha pengampun.[1]
(an-Nisa’ ; 43)
2. Sebab-sebab turunnya ayat
Sebab turun ayat ini menurut keterangan yang diriwayatkan Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: “Pada suatu hari Abdurrahman bin Auf membuatkan makanan untuk kami untuk makan dan menyediakan khamar sebagai minumannya. Lalu saya minum khamar itu.kemudian tiba waktu shalat dan orang-orang menyuruhku untuk menjadi imam. Lalu saya membaca ayat “katakan lah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, (al-Kafirun: 1-2) dan kami menyembah apa yang kalian sembah.” Lalu Allah menurunkan firman-Nya,
“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.”
Al-Faryabi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir meriwayatkan bahwa Ali berkata, “firman Allah, “… dan jangan pula (kamu hampiri mesjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekadar melewati jalan saja.” (An-Nisa’: 43), ayat ini turun pada seseorang yang melakukan perjalanan kemudian dia junub lalu tayammum dan shalat setelahnya.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan bahwa al-Asla’ bin Syuraik berkata, “Saya dulu sering meepersiapkan unta Nabi saw. sebelum beliau berpergian dengannya. Lalu pada malam hari yang dingin saya junub. Saya pun tidak berani mandi karena takut mati kedinginan atau sakit. Maka saya pun menanyakan hal itu kepada Nabi saw. lalu turunlah firman Allah,
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk,…(sampai akhir ayat)
Dalam riwayat yang lain, Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Asla’ berkata, “ Dulu saya membantu Nabi saw. dan menemani beliau jika melakukan perjalanan. Pada suatu hari beliau berkata kepada saya ‘Wahai asla’ siapkanlah untaku.’ Lalu saya berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, saya berjunub” Rasulullah pun terdiam. Maka kemudian Rasulullah di datangi Jibril dengan ayat tentang tayammum. Lalu Rasulullah saw bersabda, “Wahai asla’ bertayammumlah.” (lalu beliau memperlihatkan cara bertayammum, yaitu dengan satu sentuhan ditanah untuk mengusap wajah dan satu sentuhan lagi untuk mengusap kedua tangan hingga kedua siku. Lalu saya pun bertayammum. Setelah itu saya pergi menemani beliau.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Yazid bin Abi Habib bahwa dulu jalan ke pintu rumah beberapa orang Anshar berada langsung di dalam mesjid. Dan terkadang mereka junub ketika mereka tidak mempunyai air di rumah. Ketika mereka ingin mengambil air tidak ada jalan kecuali melalui mesjid.[2] Maka Allah menurunkan Firmannya,
“Dan jangan pula (kamu hampiri mesjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekadar melewati jalan saja.” (An-NIsa’: 43)
Seterusnya Firman Allah:
“Dan jika kamu sakit..”
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dari kalangan Ansar yang sedang sakit. Karenanya ia tidak dapat bangkit untuk melakukan wudu’, dan ia tidak mempunyai seorang pembantu pun yang menyediakan air wudu’ untuknya. Lalu ia menanyakan masalah tersebut kepada Nabi saw. maka turunlah ayat ini.[3]
3. Pelajaran dan hukum yang dapat diambil dari ayat
Ayat ini menjelaskan bahwa, orang yang mabuk tidak sah shalatnya sampai dia sadar, demikian juga halnya dengan seseorang yang sangat mengantuk tidak diperkenankan shalat, karena ketika itu kemungkinan besar dia tidak menyadarai apa yang dia lakukannya.
Firman Allah swt. yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah. Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.”
Ulama’ telah ijma’ dengan mengatakan, tayammum itu dibolehkan bagi orang musafir, menurut Imam Syafi’I, “Bolehnya bertayammum itu hanya bagi orang musafir, dan orang mukim yang takut memakai air.”[4]
Imam Abu Hanifah, Imam malik, dan Imam syafi’i mengatakan bahwa haram bagi orang yang junub diam di dalam masjid hinga dia mandi junub, kecuali jika ia hanya sekadar melewatinya dari suatu pintu ke pintu yang lain tanpa diam di dalamnya,[5] dan menurut Imran bin Hushain dan Abu Zarr bahwa orang yang berjunub, karena ketiadaan air boleh bertayammum. Begitu juga orang yang sakit dihukum seperti orang yang lemah atau orang yang tak kuasa mendapat air, seumpama orang musafir yang biasanya sangat sukar sekali mendapat air. [6]
Menurut Ibnu Jarir, ulama’ lain mengatakan bahwa Allah SWT. bermaksud menggunakan ungkapan “menyentuh perempuan” di dalam ayat ini, ditujukan kepada setiap orang yang menyentuh dengan tangannya atau dengan anggota lainnya.[7] Adapun ungkapan dengan kata-kata “menyentuh” ini lebih halus, lebih sopan, lebih tinggi. Kata ini merupakan adab kesopanan yang dicontohkan Allah bagi manusia di dalam membicarakan persoalan semacam itu.
Mengenai tanah yang suci, dipergunakannya ungkapan tanah yang baik, untuk mengisyaratkan bahwa yang suci itu adalah baik, dan yang najis itu adalah kotor. Ini merupakan isyarat yang halus dan dapat masuk ke dalam hati kita.[8]
~yg baik tetap datang dr Allah dan yg buruk dr kelemahan diri ana sendiri hamba Allah yg lemah lg dhoif. jika tulisan di atas ada salah dan silap mohon diperbaiki. syukran kasiran=)~
[1] Al-Quran dan Terjemahannya, surat An-Nisa’, ayat 43, Bandung:, CV Penerbit Diponegoro, 2006, hlm.85.
[2]Jalaluddin As-Syuyuti, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Quran, Gema Insani, Jakarta: 2008, hlm, 126.
[3]Al-Imam Abu Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz 5 An-Nisa’ 24- An-Nisa’ 147, Penerbit Sinar Baru Algensindo, Bandung 2001, hlm, 175.
[4] Shekh H.Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta: 2006, hlm, 274.
[5] Tafsir Ibnu Kasir Juz 5 An-Nisa’ 24- An-Nisa’ 147, hlm, 161.
[6] Tafsir Al-Ahkam, hlm, 274,277.
[7] Tafsir Ibnu Kasir Juz 5 An-Nisa’ 24- An-Nisa’ 147, hlm, 178.
0 komentar:
Posting Komentar