BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »
Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Kamis, 31 Maret 2011

   
Pencitaan Langit Dan Bumi   



 1.     Surah Al-Baqarah ayat 29  
artinya:
 " Dia lah (Allah) Yang menciptakan untuk kamu Segala Yang ada di bumi, kemudian Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia maha mengetahui segala sesuatu.”             

        Kata kemudian dalam ayat ini bukan dalam arti selang masa,  tetapi dalam arti peringkat, yakni peringkat sesuatu yang disebut sesudahnya yaitu langit dan apa yang ditampungnya lebih agung, lebih besar, indah dan misterius daripada bumi. Maka Dia, yakni Allah menjadikan tujuh langit dan menetapkan hukum-hukum yang mengatur perjalannannya masing-masing. Itu semua diciptakan-Nya dalam keadan sempurna dan amat teliti. Dan itu semua mudah bagi-Nya karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Kata (استوى) istawa pada mulanya berarti tegak lurus, tidak bengkok. Selanjutnya kata ini dipahami secara majazi dalam arti menuju ke sesuatu dengan cepat dan penuh tekad bagaikan yang berjalan tegak lurus tidak menoleh ke kiri dan ke kanan. Makna Allah menuju ke langit adalah kehendak-Nya untuk mewujudkan sesuatu seakan-akan kehendak tersebut serupa dengan seseorang yang menuju ke sesuatu untuk mewujudkannya dalam bentuk seagung dan sebaik mungkin.  
         Adapun kata (استوى) istawa menurut Sayyid Qutub, tidak ada tempat untuk mempersoalkan hakikat maknanya, karena itu adalah lambang yang menunjuk pada “kekuasaan.” Demikian juga halnya dengan makna berkehendak menuju, ini pun tidak ada tempatnya untuk dibahas, begitu juga “tujuh langit” serta bentuk dan jaraknya. Cukup kita memahami bahwa informasi Allah ini bertujuan mengecam orang-orang kafir yang mempersekutukan Allah padahal Dia adalah pencipta alam raya ini yang menghamparkan bumi manusia dan menyerasikan langit agar kehidupan di dunia menjadi nyaman. [1]

2.     Surah  Al-A’raf ayat 54
 artinya:“sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam  di atas Arasny. Dia menutup malam kepada siang yang mengikuti dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahn-Nya. Ingatlah! Menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.    

         Firman-Nya: ستة ايام)) sittati ayyam yang berarti enam hari menjadi bahsan panjang lebar di kalangan mufassir. Ada yang memahaminya dalam arti enam kali 24 jam dengan alasan ayat ini ditujukan kepada manusia dan menggunakan bahasa manusia, sedang manusia memahami sehari sama dengan 24 jam, sedang menurut al-Qur’an “Sesungguh sehari di sisi tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitungan kamu.” (QS. Al-Hajj: 47). Dalam ayat lain Allah berfirman: “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya limapuluh tahun.” (QS. Al-Ma’arij). 
         Perbedaan ini, bukan berarti ada ayat-ayat al-Qur’an yang saling bertentangan, tetapi ini adalah isyarat tentang relativitas waktu. Sementara ulama’ memahami kata hari  di sini dalam arti periode atau masa yang tidak secara pasti dapat ditentukan berapa lama waktu tersebut. Dan kata hari dapat mengandung sekian banyak makna. Di sisi lain, siapa yang mampu menentukan kadar waktu untuk perbuatan-perbuatan Allah karena perbuatan Allah Maha Suci dari persamaan-Nya dengan perbuatan manusia yang memiliki aneka keterbatatasan.  
            
         Firmann-Nya: (ثم استوى على العرش ) tsumma istawa ‘ala al-‘arsy juga menjadi bahasan para ulama’. Ada yang enggan menafsirkannya, “Hanya Allah SWT yang tahu maknanya” demikian ungkapan ulama’-ulama’ salaf (Abad I-III H). ulama’-ulama’ sesudah abad III, berupaya menjelaskan makna dengan mengalihkan makna kata istawa dari makna dasarnya, yaitu bersemayam ke makna majazi yaitu berkuasa, dan demikian ayat ini bagaikan menegaskan tentang kekuasaan Allah SWT. dalam mengatur dan mengendalikan alam raya, tentu saja hal tersebut sesuai dengan kebesaran dan kesucian-Nya dari segala kekurangan atau kemakhlukan.  

           Kata (عرش) arsy yang dari segi bahasa, adalah tempat duduk raja/singgah sana, kadang-kadang dipahami dalam arti kekuasaan. Tempat duduk penguasa dinamai ‘Arsy, karena tingginya tempat itu disbanding dengan tempat yang lain. Yang jelas, makna kata tersebut pada ayat ini tidak diketahui manusia, hanya Allah yang mengetahui hakikat maknanya.      

       Selanjutnya kata (ثم) summa yang berarti kemudian dimaksudkan untuk menunjukkan jarak waktu, tetapi untuk menggambarkan betapa jauh tingkat penguasa ‘Arsy, dibandingkan dengan penciptaan langit dan bumi, sedang penguasaan-Nya berlanjut terus menerus, pemeliharaan-Nya pun demikian. Di sisi lain, hal ini juga dapat merupakan bantahan kepada orang-orang Yahudi yang menyatakan, bahwa setelah Allah SWT menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, Dia beristirahat pada hari ketujuh. Maha Suci Allah atas kepercayaan sesat itu.          

         Kata (مسخرات) musakhkharat terambil dari kata (سخر) sakhkhara yang berarti menundukkan sesuatu yang sulit dan berat melalui kekuatan atau ancaman atau pengajaran dan pengaturan tanpa menerima imbalan dari yang ditunduk untuknya. Ini berarti, alam raya dan segala isinya ditundukkan oleh Allah SWT untuk mausia, dan Allah yang menundukkan itu, tidak menuntut atau menerima sedikit imbalan pun dari manusia.          

        Kata ( تبارك) tabaraka terambil dari kata( برك ) baraka yang berarti menetap dan mantap. Ia juga dipahami dalam arti kebajikan yang banyak. Allah adalah wujud yang tidak berubah, selalu ada dan menetap lagi banyak kebajikan-Nya.[2]  

  3. Surah Ali Imran ayat 190   

artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih berganti malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”    

         Dalam ayat ini Allah menguraikan sekelumit dari penciptaan-Nya itu serta memerintah agar memikirkannya, juga sebagai undangan kepada manusia untuk berfikir, karena sesungguhnya dalam penciptaannya, yakni kejadian benda-benda angkasa seperti matahari, bulan, dan jutaan gugusan bintang-bintang yang terdapat di langit, atau dalam pengaturan sitem kerja langit yang sangat teliti serta kejadian dan perputaran bumi pada porosnya yang melahirkan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda kemahakuasaan Allah bagi ulul yakni orang-orang yang memiliki akal yang murni.       

          Kata  (الألباب) al-Albab adalah bentuk jamak dari (لب) lub yaitu saripati sesuatu, kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lub. Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut idea yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Orang yang merenung tentang fenomena alam raya akan sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT.     

       Maka penekanan pada ayat ini adalah pada bukti-bukti yang terbentang di langit. Ini karena bukti-bukti di langit lebih memunggah hati dan pikiran, serta lebih cepat mengantar seseorang untuk meraih rasa keagungan Ilahi.[3]        

    4.     Surah Ali Imran ayat 191   

artinya: “Yaitu orang-orang yang mengigat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi: Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”     

        Ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya menjelaskan sebagian dari ciri-ciri orang yang dinamai Ulul Albab yang telah disebutkan pada ayat yang lalu. Mereka adalah orang-orang, baik laki-laki maupun perempuan yang terus menerus mengigati Allah dengan ucapan atau hati, dan dalam seluruh situasi dan kondisi, saat bekerja atau istirahat, dalam keadaan berbaring atau bagaimanapun.         

    Dari ayat di atas terlihat bahwa objek zikir adalah Allah, sedang objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Ini berarti bahwa pengenalan kepada Allah lebih banyak dilakukan oleh kalbu, sedang pengenalan alam raya didasarkan pada penggunaan akal, yakni berfikir. Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi ia memiliki keterbatasan dalam memikirkan zat Allah, sebagaimana sab Nabi saw. “Berfikirlah tentang makhluk Allah dan jangan berfikir tentang zat Allah.”       

     Didahulukan kata (سبحانك) subhanaka yang diterjemahkan sebagai "Maha Suci Engkau," atas permohonan terpelihara dari siksa neraka,  mengajarkan bagaimana seharusnya memohon, yaitu mendahulukan pensucian Allah dari segala kekurangan dengan memuji-Nya sebelum permohonana dan sekaligus untuk menampik segala perasangka ketidak-adilan dan kekurangan Allah, apabila ternyata permohonan yang Diajukan belum diperkenana-Nya.[4] 

 5.      Surah Ibrahim ayat 32-33 

artinya: “Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan dari langit air, kemudian Dia mengeluarkan dengannya berbagai buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagi kamu supaya ia berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagi kamu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagi kamu mata

        Ayat ini adalah beberapa rincian dari nikmat anugerah Allah yang tidak disyukuri oleh banyak manusia, serta mengubahnya dengan kekufuran (ayat 28 yang lalu). Selanjutnya kata (سخر) sakhkhara digunakan dalam arti menundukkan sesuatu agar mudah digunakan oleh pihak lain. Sesuatu yang ditundukkan Allah tidak lagi memiliki pilihan,    

         Penundukan bahtera adalah kemampuan manusia membuatnya sehingga dapat digunaka untuk berlayar dan mengangkut barang-barang menuju arah yang mereka kehendaki. Dan sebelum itu Allah menciptakan bahan-bahan mentah perbutannya, seperti kayu dan besi, sungai dan laut untuk dilayarinya serta angin yang memepengaruhi pelayarannya. Demekian sebagian makna penundukan bahtera.    

         Kata ( دائبين) da’ibain adalah dari kata (دئب) da’b. kata ini mengandung makna berlanjutnya suatu aktivitas tertentu secara teratur dan terus menerus, seperti peredaran matahari dan bulan yang berjalan secara terus menerus.        

     Perurutan penyebutan anugera-anugerah Allah di atas sungguh sangat serasi. Setelah menyebut penciptaan langit dan bumidisusul dengan air yang turun dari langit yang merupakan salah satu sumber pokok kehidupan. Air yang turun dari langit itu berasal berasal dari bumi di mana kapal-kapal belayar. Pelayaran terlaksana di laut dan sungai. Laut dan sungai di pengaruhi oleh matahari dan bulan, dan dari peredaran matahari dan bulan bersama predaran bumi lahir malam dan siang.[5] 

   6.     Surah Ibrahim ayat 34  

artinya: “Dan Dia telah menganugerahkan kepada kamu dari segala apa yang kamu mohonkan kepad-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia, sangat zalim dan sangat kafir.”     

        Banyak sudah anugerah Allah yang disebut di atas, tetapi itu baru sedikit dari anugerah-Nya yang telah melimpah. Untuk menyebutnya diperlukan sederetan ungkapan, sedang untuk menghitungnya merupakan hal yang mustahil. Dan jika kamu wahai seluruh makhluk bermaksud menghitung nikmat Allah yang telah Dianugerahkan-Nya kepada kamu, niscaya tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia  yang tidak mensyukurinya itu sangat zalim dan sangat kafir yakni sangat mengingkari dan tidak mensyukuri nikmat Allah itu.        

    Firman-Nya:( وءاتكم من كل ما سألتموه )      wa atakum min kulli ma sa’altumuhu   “Dan Dia telah menganugerahkan kepada kamu dari segala apa yang kamu mohonkan kepad-Nya” dalam arti segala kebutuhan manusia telah disiapkan oleh Allah SWT. Menurut Thabathaba’i  disiapkan Allah untuk semua jenis manusia, walaupun boleh jadi secara individu ada yang tidak dipenuhi permintaannya. Dibalik tidak terpenuhinya permintaan itu, pasti ada hikmahnya, bahkan boleh jadi bila hikmah itu diketahui sebelumnya oleh yang memintanya, maka dia tidak akan memintanya. Dengan demikian, pada akhirnya dapat juga dikatakan bahwa Allah memberikan kepada setiap orang apa yang dimintanya. Kemudian Kata (ظلوم) zhulum sangat berbuat zalim antara lain berarti menzalimi dan menghalangi orang lain memperoleh haknya, atau mengambil melebihi dari yang seharusnya dia ambil, atau bersifat mubazir, menyia-nyiakan Sesutu dan tidak menggunakan pada tempat yang semestinya.  

           Kata (تحصوها) tuhshuha mengandung tiga makna asal, yaitu: a) menghalangi/melarang. b) menghitung (dengan teliti) dan mampu, c) sesuatu yang merupakan bagian dari tanah, dari sini lahir kata ( حصى ) hasha yang bermakna batu. Manusia dahulu menggunakan batu untuk menghitung dan dari kata tersebut berarti  menghitung. Pemilihan kata ini juga memberi kesan bahwa jumlah nikmat-nikmat Allah bagaikan sebanyak batu-batu atau bagian dari tanah. Seseorang baru akan mampu menghitung nikmat-nikmat Allah jika ia mampu menghitung  batu-batu yang ada di bumi.  
          Selanjutnya ayat ini ditutup dengan mengemukakan dua sifat buruk manusia yaitu sangat zalim dan sangat kafir disebabkan karena konteks ayat dalam surah Ibrahim ini adalah uraian tentang sikap manusia yang durhaka terhadap aneka anugerah Allah.mereka tidak mensyukurinya karena itu mereka dikecam oleh Allah SWT.[6]   

         Adapun penciptaan langit dan bumi ini ternyata tidak sia-sia dijadikan oleh Allah serta banyak manfatanya untuk semua jenis makhluk-Nya terutama sekali manusia. Dari  penciptaan langit dan bumi inilah banyak nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan, Namun manusia sering kali lalai dengan segala nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya serta tidak mensyukurinya malah, berbuat kerosakan di muka bumi.            
           Semoga  dalam  mengetahui serta memhami hikamah penciptaan langit dan bumi  ini  akan menambah rasa syukur serta rasa takut kita kepada Allah sang pencipta Yang Maha Agung.      

~yg baik tetap datang dr Allah dan yg buruk dr kelemahan diri ana sendiri hamba Allah yg lemah lg dhoif. 
jika tulisan di atas ada salah dan silap mohon diperbaiki. syukran kasiran=)~

               

[1] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasaian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm, 137-139..

[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasaian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm 118-112.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasaian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm, 290-295.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasaian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm,
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasaian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm, 61-62.
[6]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasaian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm, 63-65.

0 komentar: