BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »
Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Kamis, 26 April 2012

Perlukah Pencatatan Perkawinan??

1.      Pengertian Pencatatan Perkawian

            Pencatatan perkawianan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan. 

2.      Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan

Firman Allah swt yang bermaksud:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya maka hendaklah dia menuliskan.” (Qs. al-Baqarah: 282)[1]

            Surat al-Baqarah ayat 282 di atas memerintahkan kita untuk mencatatkan utang-piutang. Jadi perkawinan juga harus dicatat karena jauh lebih penting dari hutang-piutang.[2]

3.      Pencatat perkawinan

      Yang berhak mencatat perkawinan adalah Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (PPPN) yang berkedudukan di setiap desa atau kelurahan atau Peagawai Pencatat Nikah (PPN) yang berkedudukan di setiap kecamatan yang berada di bawah struktur Kantor Urusan Agama (KUA).

            Di Negara Indonesia ada duan instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawianan dan perceraian (dan rujuk). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah: 

a)                               Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan Rujuk bagi orang yang beragama Islam (undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo. undang-undang Tahun 1954)

b)      Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi orang yang non muslim.

            Kantor urusan agama (KUA) Kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksnakan di wilayahnya masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan ini dapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawianan tersebut. Salah satu kegunaan dari pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan konkrit tentang data NTR.[3]




4.      Akta Perkawinan

            Adalah suatu akta yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai bukti bahwa telah terjadi suatu akad perkawinan berdasarkan laporan dari Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

5.      Biaya Pencatatan Perkawinan

            Setiap perkawinan yang dilangsungkan di depan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) hanya membayar biaya administrasi sebesar Rp10.000.[4]

6.      Pencatatan Perkawinan Menurut KHI

Pasal 5
(1)   Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat
(2)   Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai PencataT Nikah (PPN) sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo. undang-undang No. 32 Tahu 1954.

Pasal 6
(1)   Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
(2)   Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.[5]

           Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 KHI tersebut, pencacatan perkawinan bukanlah merupakan syarat yang menentukan sahnya suatau perkawinan. Namun sekalipun bukan merupakan syarat sahnya suatu perkawinan, pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan. Hal tersebut karena pencacatan itu merupakan syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh Negara dan hal ini membawa banyak konsekuensi hukum bagi yang bersangkutan.[6]

            Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa –peristiwa yang penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat keterangan, dan suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencacatan (Anonimous, 1994:14). 

7.      Perkawinan yang Sah Menurut Hukum Islam

           Perkawinan yag sah menurut hukum Islam apabila rukun dan syarat pelaksanaannya terpenuhi.[7]

a)      a) Syarat Pernikahan

1.   1. Laki-laki dan perempuannya sah untuk dinikahi. Artinya kedua calon pengantin adalah orang yang bukan  haram dinikahi, baik karena haram untuk sementara tau selamanya. 

2.      2. Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.[8]

b)     Rukun Pernikahan

Menurut Imam Malik rukun pernikahan, yaitu:
1.      Calon pengantin laki-laki
2.      Calon pengantin perempuan
3.      Wali
4.      Mahar
5.      Sigat akad nikah

Menurut Imam Syafi’i rukun nikah, yaitu:
1.      Calon pengantin laki-laki
2.      Calon pengantin perempuan
3.      Wali
4.      Dua orang saksi
5.      Sigat akad nikah

8.      Akibat Hukum Tidak Dicatatnya  Perkawinan 

                            Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan adalah sah, namun di mata negara perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

2.                            Data Depag mengungkapkan bahwa ternyata sekitar 48% pernikahan yang tidak tercata. Hal ini sangat besar dampaknya bagi isteri dan anaknya. Posisi mereka sangat lemah di depan hukum. Bagi isteri, tidak dianggap sebagai isteri, karena tidak memiliki akta nikah. Ia juga tidak berhak atas nafkah dan warisan jika terjadi perceraian atau suaminya meninggal. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Tragisnya, anak yang dilahirkannya juga dianggap anak tidak sah.

3.                                Secara sosial, sang istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan tanpa dicatat sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan yang sah (alias kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan.

4.      Perkawinan yang tidak dicata juga memiliki dampak negatif bagi status anak. Anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan).[9]


 pencatatan perkawinan termasuk dalam mashlahah mursalah kerana walaupun tidak ada nash yg qoth'i tp ada nash yg umum dan dibuat untuk kemaslahatan dan menolak kemudharatan.
 p
 

[1] al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2006), hlm. 48.

[2] Muhammad Zain & Mukhtar al-Shodiq,  Membangun Keluarga Humani,

            [3] Dr. H. Abdul Manan, S.H,, S.IP., M. Hum., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,

[4] Membangun Keluarga Humani,

            [5] Kompilasi Hukum Islam,

            [6] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si, Perkawinan Dalm Hukum Islam dan Undang-Undang,

[7] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,  (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), hlm. 275.

[8] Drs. Slamet Abidin & Drs. H. Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 63.

[9] Muhammad Fu’ad Syakit, Perkawinan Terlarang,

0 komentar: